Lelang Kelambu

Hadratus Syaikh Ahmad Mutamakkin
Oleh Anang Taufiqurrohman

Tulisan ini membahas tentang Khaul Hadratus Syaikh Ahmad Mutamakkin Kajen Margoyoso Pati Jawa Tengah. Mengingat dalam hal ini ada yang kiranya menarik kaitanya dengan ilmu antropologi, spesifik ke al-Qur’an dan Sosial Budaya. Ranah bahasanya dalam tulisan ini pun terbatas pada sejarah Syaikh Ahmad Mutamakkin dan yang bersinggungan padanya, terkhusus pada acara lelang selambu yang hasilnya sampai pada nominal yang tidak sedikit, yakni sampai pada jumlah puluhan juta rupiah. Jumlah yang sungguh fantastis dari sekedar lelang kain luwur atau mori dengan harga awal belasan ribu rupiah.

Sebelum mengakar jauh yang menjadi pertanyaan mendasar adalah siapa sebenarnya syaikh Ahmad Mutamakkin itu? Syaikh Ahmat Mutamakkin dikenal juga dengan nama Ki Cebolek. Ia adalah seorang faqih yang disegani karna pandangannya yang jauh dan luas. Demikian sampai detik ini, penulis tak menemukan kesatuan kisah yang menyebutkan dari mana asal-usul Syaikh Ahmad Mutamakkin. Ada yang mengatakan jika Syaikh Ahmad Mutamakkin berasal dari Persia (Zabul) Propinsi Iran Selatan, Sebagaimana di ungkap oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam acara pengarahan PBNU pada Munas RMI. Tapi ada juga yang mengatakan jika ia berasal dari desa Cebolek, Tuban, Jawa, Timur. Syaikh Ahamad Mutamakkin juga diyakini sebagai keturunan Sultan Hadiwijaya (Jaka Tingkir) dan Prabu Wijaya VI, seorang raja majapahit.Walaupun demikian, penjelasan ini tidak cukup mampu meringkas riwayat hidup Mutamakkin pada satu titik terang semacam curriculum vitae yang cukup detil. Satu hal yang hampir pasti adalah bahwa Mutamakkin pernah belajar beberapa tahun di Timur Tengah lalu bertolak ke tanah Jawa. Kedatangannya di Kajen pun njebul melek (asal kalimat dari nama Cebolek, yang artinya muncul secara tiba-tiba lalu membuka mata). Setelah melakukan pengembaraan ke beberapa tempat, akhirnya Syaikh Ahmad Mutamakkin menetap di Kajen dan melakukan berbagai aktifitas keagamaan, termasuk berdakwah dan menerima beberapa murid yang di antaranya adalah Kiai Ronggo Kusumo, Kiai Mizan, Raden Soleh (keturunan Ki Ageng Selo).

Lalu, apa yang menarik dari kisah itu? Kisah Syaikh Ahmad Mutamakkin ini adalah kontroversi, stereotip yang kentara dikukuhkan oleh Yasadipura I di dalam salah satu karyanya yang cukup terkenal, Serat Cebolek. Karya ini sangat menarik karena di dalamnya terdapat tuturan yang berkisah tentang usutan Ketib Anom dan ulama lain terhadap kepercayaan Syaikh Ahmad Mutamakkin. Seperti halnya Jenar, Syaikh Mutamakkin pun dianggap mengajarkan ilmu mistik.

Kebesaran Syaikh Ahmad Mutamakkin ditunjang oleh beberapa data sejarah yang menunjukkan dia sebagai seorang wali khariqul adah (tidak seperti kebiasaan manusia pada umumnya) yang disegani. Salah satu contohnya, Syaikh Ahmad  Mutamakkin melakukan riyadah (tirakat) selama 40 hari puasa, siang malam, tidak makan dan minum. Pada hari terakhir puasanya, kemudian ia menyuruh istrinya membelikan makanan yang paling disukainya di pasar. Setelah makanan itu matang, bahkan baru hangat-hangatnya dan menjelang magrib, Syaikh Ahmad Mutamakkin justru berkelakuan aneh. Dia menyuruh istrinya mengikatnya di sebuah tiang. Pada saat magrib tiba, nafsu makannya menggelora dengan dahsyat. Di depannya tersedia makanan yang paling disukainya. Pertarungan nafsu dan qalbun salim (hati yang bersih/selamat) akhirya dimenangkan oleh qalbun salim. Ajaib, dari dalam perutnya keluar dua anjing. Kedua binatang yang melambangkan bentuk nafsu makan itu langsung memakan habis makanan yang tersedia di depannya. Namun, kemudian ingin masuk ke dalam perutnya lagi. Syaikh Ahmad Mutamakkin menolak dan akhirnya kedua anjing tersebut menjadi khadim (pembantu) setia Syaikh Ahmad Mutamakkin  dalam perjuangannya. Kedua anjing itu kemudian diberinama Qomaruddin dan Abdul Qohar (konon katanya kedua nama itu diambil dari nama penguasa zalim dari Tuban). Sejarah ini begitu melekat dalam jiwa masyarakat sekitar dan para santri yang tinggal di Kajen. Setiap hari, dari pagi hingga malam, nonstop selama 24 jam makam Syaikh Ahmad Makkintidak pernah sepi dari pengunjung. Alunan bacaan Alquran, tahlil, tahmid, takbir, dan salawat bergema sepanjang hari, menyemarakkan suasana desa tersebut yang dihuni ribuan santri. Uniknya adalah hari dan dan tanggal wafat Syaikh Ahmad Mutamakkin tidak diketahui secara pasti, namun setiap tanggal 10 Syuro diperingati khaulnya.

Seperti diungkap sebelumnya, tidak diketahui secara pasti kapan wafat Syaikh Ahmad Mutamakkin tersebut. Namun, memang perayaan Khaulnya tersebut pada tanggal 10 Syuro atau 10 Muharram, sekaligus sebagai puncak acara. Demikian, tanggal satu sampai sepuluh juga banyak acara yang terjadi. Memasuki tanggal satu Muharram, mulai tengah malam sudah berdatangan banyak sekali pengunjung yang berziarah ke Makam Syaikh Ahmad Mutamakkin. Setelahnya, sebagian dari peziarah itu –baik dari warga Kajen ataupun santri sekitar- melakukan ‘ritual’ mandi bersama di kolam sebelah makam tersebut, dengan meyakini ngalap berkah (mencari berkah).

Dalam tradisi ritual 10 Syura Syekh Ahmad Al-Mutamakkin ini didalamnya juga terdapat bebarapa kegiatan yang dilaksanakan selama empat hari berturut-turut yaitu mulai tanggal 6 Sura sampai pada penutupan yang dilaksanakan pada tanggal 10 Syura. Kesemuanya yang merupakan satu rangkaian yang tidak dapat dipisahkan.  Adapun rangkaian ritual keagamaan yang dilaksanakan antara lain; Tahtiman Al-Quran Bilghoib dan Binnadhor, buka selambu dan pelelangan, serta tahlil khoul. Serangkaian ritual ini dimulai dengan manaqiban pembukaan di pesareyan pada tanggal 6 suro. Acara yang kedua yaitu Tahtiman Al-Quran Bil-ghoib Acara ini dilaksanakan pada tanggal 7 Sura. Acara yang ke tiga Tahtiman Al-Quran Binnadhor pada tanggal 8 sura.

Pada tanggal 9 suro Acara buka selambu (kain luwur) makam dan dilanjutkan acara pelelangan selambu makam Syeikh Ahmad Mutamakkin ini bisa dikatakan sebagai  acara puncak. Tradisi ini dihadiri oleh semua orang dari berbagai kalangan. Sebelum acara buka selambu dimulai didahului dengan tahlilan terlebih dahulu. Setelah pelelangan biasanya para orang-orang yang mendatangi acara tersebut dan para zairin-zairot berebut nasi ambeng yang telah didoakan terlebih dahulu. Diantara nasi ambeng itu terdapat piring panjang bekas tempat makan dari mbah mutamakin. Piring panjang tersebut juga diisi makanan yang dimasak dari kyai desa kajen dari salah satu keturunan mbah mutamakin yang menyimpan piring tersebut. Piring ini berbentuk bulat namun lebar. Selain pembagian makanan ada juga ritual meminum air oleh para tamu dengan menggunakan tempat minum yang dahulunya dipakai  Syaikh Ahmad Mutamakin untuk minum yang terbuat dari kuningan.

Nah, yang menarik dijadikan perhatian adalah hasil lelang tersebut; yakni mencapai puluhan juta rupiah (bisa saja setiap tahun bertambah),  jumlah yang sangat fantastis! Menurut cerita Ridwan 40-an tahun (peziarah asal malang), adalah jika kain itu dilelang dengan harga sekian adalah nilai yang cukup murah mengingat dalam prakteknya makam Syaikh Ahmad Mutamakkin setipa hari selalu didatangi pengunjung dan membaca al-Qur’an. Pembacaan itu tak pernah putus, selama 1 tahun penuh. Mungkin ini juga bisa dijadikan alasan mengapa peminat lelang selambu itu tidak hanya dari kaum muslimin, namun juga para agamawan lain (pemeluk agama lain). Entah apa maksut mereka, mungkin sama dengan orang muslim lainya dengan percaya akan karomah Syaikh Ahmad Mutamakkin. Walaupun diantara mereka tidak memeluk islam, namun uniknya mereka meyakini akan itu. 

Memang satu hal yang bisa dibaca dari efek haul seperti itu adalah penciptaan kontinuitas pesona mitis yang diharapkan akan selalu diingat oleh siapa pun yang datang ke pesarean Syaikh Ahmad Mutamakkin. Dalam kaitanya dengan ini, selain fungsi sosial ada juga fungsi didaktis dari tradisi ini 10 Sura Syekh Ahmad Al-Mutamakkin kabupaten Pati adalah sebagai berikut: sebagai penghormatan terhadap leluhur, sebagai sarana mendekatkan diri kepada Tuhan, sebagai gotong royong dan kebersamaan, sebagai ungkapan rasa syukur, ketertiban, kepatuhan. Fungsi sosial dari tradisi 10 Sura Syekh Ahmad Al-Mutamakkin adalah sebagai berikut; sarana integrasi sosial,  kesempatan perbaikan sosial, sebagai pewarisan norma sosial, sebagai pelestarian budaya dan hiburan bagi khazanah budaya dan wisata lokal.

________________________________________

Secara Geografis, daerah Kajen dibentuk oleh lereng Gunung Muria yang berbukit-bukit, lembah di kakinya yang subur, serta tepian pantai yang landai dengan perairan laut yang tenang. Daerahnya terhampar dari ketinggian sekita 300 m dari permukaan laut di daerah lereng pegunungan hingga kebatas permukaan laut di daerah tepi pantai. Kajen terletak di Kecamatan Margoyoso, kira-kira 18 km dari kota Pati ke arah utara. Luas Desa Kajen hanya sikitar 63 hektar. Kajen juga bisa dikatakan Desa yang unik, karna didalamnya terdapat sekitar 35 Pondok Pesantren dan beberapa Sekolah, seperti TK, SD/MI, MTS, MA juga beberapa Perguruan tinggi.